Halo sobat, kali ini kita akan bercerita tentang sejarah berdirinya kesultanan Mataram Islam, dan juga menceritakan masa kejayaan hingga keruntuhannya di awal abad ke-18.
Pada masa berdirinya kesultanan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan islam yang cukup berpengaruh di pulau Jawa dan bersaing dengan kesultanan Banten dan kedudukan VOC di Batavia.
Kesultanan ini secara de facto merupakan negara merdeka yang menjalin hubungan perdagangan dengan Kerajaan Belanda. Keduanha bahkan memiliki duta besar untuk masing – masing pihak.
Pada masa akhir menjelang keruntuhannya, terjadi palihan nagari (bedah negara), Kesultanan Mataram secara de facto dan de jure melalui perjanjian giyanti yang membagi kerajaan menjadi dua, yaitu kesunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta.
Jadi tak mau berlama – lama, kita mulai materi tentang berdirinya kesultanan Mataram Islam ini.
Sejarah Berdirinya Kesultanan Mataram Islam
Etimologi Nama Mataram Islam.

Nama Mataram secara historis adalah nama kerajaan kuno yang mengacu pada kerajaan Mataram atau kerajaan Medang di abad ke-8. Secara bahasa dalam Sanskerta, Mataram berarti ibu.
Wilayah kekuasaan Mataram sendiri mengacu pada dataran di selatan Gunung Merapi di sekitar Muntilan , Sleman , Yogyakarta , dan Prambanan. tepatnya mengacu pada kawasan Kota Gede, Yogyakarta.
Secara historis Kerajaan Mataram kuno (Medang) dan Kesultanan Mataram Islam berdiri di wilayah yang sama.
Baca juga : Kerajaan Mataram Kuno
Berdirinya Kesultanan Mataram Islam.

Mulanya, Kerajaan Mataram Islam merupakan Kerajaan Pajang yang memiliki wilayah kekuasaannya di Mataram. Kekuasaan Kesultanan Pajang saat itu mencakup sebagian Jawa dan Madura.
Menurut catatan Jawa, raja-raja Mataram adalah keturunan dari salah satu Ki Ageng Sela. Pada tahun 1570-an, salah satu keturunan Ki Ageng Sela, Kyai Gedhe Pamanahan dianugerahi kekuasaan atas tanah Mataram oleh Raja Pajang , Sultan Hadiwijaya sebagai hadiah mengalahkan Arya Penangsang musuh dari Sultan Hadiwijaya.
Pada tahun 1575, Sutawijaya menggantikan ayahnya, Kyai Gedhe Pamanahan sebagai bupati Mataram dan mencoba memisahkan diri dari kekuasaan Pajang saat itu.
Tentu saja Sultan Hadiwijaya tidak menyukainya, hingga terjadilah peperangan kekuasaan di antara mereka berdua. Perang dimenangkan oleh Sutawijaya karena kondisi Sultan Hadiwijaya sedang tidak sehat saat itu. Selang berapa waktu, Sultan Hadiwijaya pun wafat.
Setelah Sultan Hadiwijaya wafat kekuasaannya diambil oleh secara paksa oleh Pangeran Arya Pangiri. Yang juga mengusir pewaris tahta kerajaan pajang, pangeran Benawa ke Jipang.
Di bawah Sutawijaya atau Penambahan Senopati, Mataram tumbuh secara substansial melalui kampanye militer keberbagai wilayah hingga berhasil menghimpun kekuatan untuk melawan Kesultanan Pajang.
Bersama Pangeran Benawa, Pasukan Mataram yang dipimpin oleh Sutawijaya berhasil mengalahkan Arya Pangiri, dan akhirnya Pangeran Benawa diangkat menjadi Sultan Pajang.
Tapi karena tidak memiliki putra mahkota, Pangeran Benawa pun akhirnya menyerahkan kekuasaan Pajang ke Sutawijaya dan akhirnya Kesultanan Pajang pun menjadi bagian kekuasaan Mataram.
Dan itulah awal dari berdirinya Kekuasaan Kesultanan Mataram.
Sutawijaya diangkat menjadi Sultan dan Bergelar ” Penambahan Senopati.”
Sutawijaya menjadi Sultan dengan menyandang gelar “Panembahan” (yang berarti secara harfiah “orang yang dijunjung, orang yang disembah.”).
Di awal kekuasaannya dia berhasil melakukan berbagai ekspansi kekuasaan hingga timur pulau Jawa, mulai dari Madiun (1590), Kediri, Ponorogo serta Jipang dan Jagaraga (Utara Magetan) (1591), tapi ekspansi hanya tertahan sampai Pasuruan karena tekanan dari Adipati Surabaya yang menolak mengakui kekuasaan Mataram Islam.
Akhirnya dia mengalihkan perhatian ke Jawa barat. dengan menaklukkan Cirebon dan pada 1595, berhasil membuat Sunda Galuh mengakui kekuasaan Mataram Islam dan menjadi daerah Vasal (jajahan), bahkan pada 1597, Mataram mencoba menguasai Banten, (meski gagal karena kekurangan transportasi air)
Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kota Gede, sebagai raja Jawa ia berhasil membangun fondasi negara baru yang kokoh. Penggantinya, Raden Mas Jolang atau yang kemudian bergelar sebagai Susuhunan Hanyakrawati.
Kontak pertama Belanda dan Mataram Islam
Kontak pertama antara Mataram dan Belanda terjadi di era Susuhunan Hanyakrawati. Kegiatan Belanda pada saat itu hanya sebatas perdagangan di pesisir Jawa, kontak Belanda dengan pedalaman Jawa di batasi.
Panembahan Hanyakrawati wafat karena kecelakaan sewaktu berburu rusa di hutan Krapyak. Dari peristiwa itu ia dikenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak (Panembahan yang Meninggal di Krapyak).
Baca juga : Kesultanan Cirebon
Masa Kejayaan Kesultanan Mataram Islam.
Kejayaan Kesultanan Mataram terjadi pada saat Raden Mas Rangsang atau biasa dikenal dengan Sultan Agung memimpin Kerajaan Islam Mataram pada 1613.
Pada pemerintahannya, Mataram menjadi salah satu negara terkuat di Jawa, kesultanan yang menyatukan sebagian besar pulau Jawa, Madura, dan Sukadana (Kalimantan Barat).
Pada 1641, utusan yang dikirim oleh Sultan Hanyakrakusuma ke Arab tiba setelah mendapatkan gelar dari Mekah sebagai “Sultan Abdul Muhammad Maulana Matarami”.
Kegagalan Penaklukan Batavia
Di pengujung tahun 1619, Sultan Agung cemas setelah mendapatkan kabar VOC berhasil merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten satu – satunya di pulau Jawa yang tidak dikuasai oleh Kesultanan Mataram.
Jayakarta yang sejak dulu menjadi pelabuhan terpenting di Asia Tenggara berubah nama menjadi Batavia.
Pada tahun 1621, Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Namun VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Setelah mengambil alih Surabaya, sasaran Sultan Agung selanjutnya adalah Kesultanan Banten di ujung barat Pulau Jawa. Namun, posisi Batavia terasa “benteng” Kesultanan Banten dan menjadi batu sandungan dalam menguasai Jawa.
Kiai Rangga, Bupati Tegal sempat dikirim Sultan Agung ke Batavia pada April 1628. Ia dikirim sebagai utusan untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Kerajaan Mataram. VOC menolak. Sultan Agung pun memutuskan menyatakan perang.
Beberapa kali serangan di lakukan oleh Sultan agung ke VOC, tapi tidak berhasil, bahkan mereka rela bekerja sama dengan Kesultanan Banten, musuh mereka.
Tapi sayang karena jarak yang jauh, kekurangan perbekalan, kecapaian dan juga kecurigaan pihak Banten dengan Kesultanan Mataram, serangan – serangan itu gagal yang juga mengakibatkan kematian Sang Sultan.
Meski gagal Gubernur Jendral VOC saat itu, J.P Coen meninggal karena kolera, di karenakan taktik “penyakit” dari Mataram.
Runtuhnya Kesultanan Mataram Islam.

Setelah Sultan Agung Wafat, takhta kesultanan diserahkan pada putranya, Susuhunan Amangkurat I. Di bawah kepemimpinan Amangkurat I, ia memindahkan lokasi keraton ke Plered. Sejak saat itu gelar Sultan diganti menjadi Sunan.
Berbeda dengan ayahnya, Amangkurat I justru berkerjasama dengan VOC. Pada 1645 hingga 1677 terjadi pertentangan dan perpecahan dalam keluarga Kerajaan Mataram Islam. Lantas, momen ini dimanfaatkan VOC untuk menguasai Kesultanan.
Kemudian pada 1677 Susuhunan Amangkurat I meninggal. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II. Di masa kepemimpinan itu, Susuhunan II memindahkan pusat pemerintahan ke Kertasura.
Belanda mulai mulai menguasai sebagian besar wilayah kerajaan Mataram saat Raja Amangkurat II memimpin.
Pada kepemimpinan Pakubuwana II merupakan akhir dari kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Hal ini ditandai dengan penandatanganan penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC pada 11 Desember 1749. Namun secara de facto, Mataram ditundukkan sepenuhnya pada 1830.
Perjanjian Giyanti.

Dalam buku Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan (2004) karya Mark R. Woodward, Perjanjian Giyanti menjadi puncak dari keruntuhan kesultanan Mataram.
Hal ini ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogjakarta Hadiningrat.
Usai dibagi menjadi dua wilayah, perpecahan kembali melanda Kerajaan Mataram Sehingga pada 1757 terjadi perjanjian Salatiga. Namun perpecahan ini berakhir pada 1830 saat perang Dipenogoro selesai.
Seluruh daerah kekuasaan Surakarta dan Yogyakarta dirampas oleh Belanda. Akhirnya pada 27 September 1830 terjadi perjanjian Klaten yang menentukan wilayah kekuasaan Belanda. Dan menjadi akhir kekuasaan Mataram Islam.
Baca Juga : Sejarah Kesultanan Banten
Daftar Sultan Mataram Islam
- Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati) : 1587-1601
- Raden Mas Jolang (Hanyakrawati) : 1601-1613
- Raden Mas Wuryah (Adipati Martapura) : 1613, bertakhta hanya satu hari
- Raden Mas Jatmika (Hanyakrakusuma / Sultan Agung) : 1613-1645
- Raden Mas Sayidin (Hamangkurat I / Hamangkurat Agung) : 1646-1677
- Raden Mas Rahmat (Hamangkurat II / Hamangkurat Amral) : 1677-1703
- Raden Mas Sutikna (Hamangkurat III / Hamangkurat Mas) : 1703-1704
- Raden Mas Darajat (Pakubuwana I / Pangeran Puger) : 1704-1719
- Raden Mas Suryaputra (Hamangkurat IV / Hamangkurat Jawi) : 1719-1726, leluhur raja Surakarta dan Yogyakarta
- Raden Mas Prabasuyasa (Pakubuwana II) : 1726-1742
- Raden Mas Garendi (Hamangkurat V / Hamangkurat Kuning) : 1742-1743
- Raden Mas Prabasuyasa (Pakubuwana II) : 1743-1749
Peninggalan Kesultanan Mataram Islam
Sejak awal, kesultanan Mataram rutin menerjemahkan naskah Arab dan menerjemahkan Alquran ke bahasa Jawa. Mulai saat itu, kesultanan ini mendirikan pesantren yang menjadikan wilayahnya sebagai pusat agama Islam.
Dalam seni dan budaya, Kesultanan Mataram telah meninggalkan jejak yang kekal dalam budaya Jawa, karena banyak unsur budaya Jawa, seperti gamelan, batik, keris, wayang kulit dan tari tradisional Jawa diciptakan, dikembangkan dalam bentuknya yang sekarang, dan diwariskan oleh karaton penerusnya.
Dan itulah kawan sejarah berdirinya kesultanan Mataram Islam. semoga informasi tentang berdirinya kesultanan Mataram Islam ini bermanfaat bagi kita semuanya.
Sampai jumpa di materi Menarik lainnya.